Selasa, 05 Januari 2010

UU TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

UU TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Latar Belakang Masalah

Pembentukan Undang-Undang BHP ini adalah merupakan amanah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1) bahwa “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum”. Pembentukan BHP ini adalah merupakan bentuk koreksi atas pelaksanaan BHMN yang telah berjalan selama ini dan bukan replika dari BHMN.

Kontroversi UU BHP yang diagungkan oleh sebagian masyarakat utamanya para mahasiswa itu lebih mengkritisi pada kekhawatiran dalam pelaksanaannya, yang diduga akan mengakibatkan semakin mahal dan tidak terjangkaunya biaya pendidikan di perguruan tinggi khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah.  UU BHP juga disalahkan karena tidak sejalan dengan semangat UUD 1945 yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa

Pro dan kontra terhadap kehadiran UU BHP adalah sebuah kewajaran dalam dinamika kehidupan akademis, karena pemahaman terhadap isi undang-undang BHP yang terdiri dari 14 pasal dan 69 ayat itu bisa berbeda.

Perumusan masalah

(1).    Keberpihakan pada masyarakat kecil untuk memperoleh jaminan pendidikan tinggi dengan biaya yang terjangkau, nampaknya tidak tercermin dalam pasal-pasal dari undang-undang ini.

 (2).    Masalah tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi secara eksplisit dalam UU BHP

(3). Masalah terakhir adalah kacau-balaunya pasal-pasal dalam UU BHP

Pembahasan

Pasal-pasal yang ada lebih mengatur hal-hal yang terkait dengan privatisasi dan korporatisasi perguruan tinggi negeri (PTN) seperti terungkap pada Pasal 43 ayat (1) tentang badan usaha dan Pasal 57 tentang kepailitan. Di sisi lain komersialisasi PTN secara implisit tercermin pada Pasal 38 ayat (1) yang menjelaskan tentang sisa hasil kegiatan/usaha.

Pembatasan akses pendidikan tinggi bermutu bagi warga negara berpenghasilan rendah tercermin pada Pasal 46 ayat (1) yang memberi kuota 20 persen untuk mahasiswa golongan ini. Itupun tidak ada batasan jaminan keterjangkauan biaya pendidikan yang diatur secara jelas.
Meskipun pada kenyataannya, jauh-jauh hari sebelum UU BHP disahkan, hampir sebagian besar PT BHMN (badan hukum milik Negara) sudah lebih dulu memasang tarif tinggi untuk bidang studi yang banyak diminati. Dengan demikian, UU BHP telah memberikan legitimasi terhadap praktek-praktek pemungutan biaya kuliah yang tinggi tanpa batasan besarnya biaya tersebut khususnya pada beberapa PTN melalui pelaksanaan ujian mandiri.

Masalah tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi secara eksplisit dalam UU BHP dapat difahami bahwa pembiayaan pemerintah masih tergolong rendah, meskipun anggaran pendidikan 20% dari APBN segera direalisasikan. Untuk itu UU BHP memberikan peluang bagi PTN untuk menutupi kekurangan biaya melalui komersialisasi kursi PTN sebagaimana diungkapkan pada Pasal 41 ayat (6) dan (9), dimana setengah dari biaya operasional ditanggung oleh BHP plus pemerintah, dan sepertiganya ditanggung oleh masyarakat. Kondisi ini terjadi karena adanya kekosongan pengaturan tentang pendidikan tinggi dalam UUD 1945 (amandemen ke-4). Dampak yang diduga akan terjadi dari kurangnya tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan PTN ini adalah melambungnya biaya kuliah di PTN favorit.  Terkait dengan masalah tanggungjawab pemerintah ini, UU BHP juga memberikan sinyal peluang masuknya pihak asing dalam bisnis pendidikan tinggi di Indonesia yang tentunya dapat mengancam integritas bangsa.

            Masalah terakhir adalah kacau-balaunya pasal-pasal dalam UU BHP, yang mencerminkan bahwa undang-undang ini terkesan diselesaikan secara tergesa-gesa hanya untuk memenuhi target dengan mengabaikan kualitasnya. Arya Hadi Darmawan (2009) menyebut kekacauan ini sebagai inkonsistensi logika antar pasal. Ia memberi contoh inkonsistensi tersebut terdapat pada Pasal 4 yang menyatakan BHPP adalah organisasi nirlaba versus Pasal 57 dan Pasal 58 yang menyatakan bahwa BHPP dapat pailit. Selanjutnya pada Pasal 4 dinyatakan sisa hasil usaha (SHU) versus Pasal 38 ayat (1) dan (3) tentang sisa hasil kegiatan, yang secara jelas menunjukan inkonsistensi.

KOMENTAR :

            Dalam membuat undang-undang sebaiknya harus memperhatikan dalam semua bidang, dan jangan membuat kedok di balik undang-undang tersebut, karena funsi undang-undang adalah sebagai acuan. Apabila undang-undang tersebut tidak baik, maka dalam pelaksanaanya pun menjadi tidak baik dan akan merugikan semua pihak., dan sebaiknya juga dalam membuat undang-undang, disesuaikan dengan keadaan di sekitar kita. Karena undang-undang di ciptakan untuk terciptanya keteraturan, bukannya menjadi kontrovesi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar